Papua Bukan Tanah Kosong: Ketika Hutan Ditebang, Jantung Saya Berhenti


Papua Bukan Tanah Kosong: Ketika Hutan Ditebang, Jantung Saya Berhenti

Rekomendasi dari Fahri Salam

Permata Adinda merekam percakapan pengalaman mama-mama Papua yang memorinya dirampas negara, yang tubuhnya diambil paksa oleh tentara, yang tanah dan kekayaan mereka diserobot korporasi. Bertahun-tahun kemudian, mama-mama lintas generasi tumbuh membawa ingatan kolektif duka lara, dan mereka tiba pada satu momen untuk berkata: Ko stop sudah, ini tanah kami, ini Mama kami.

Di suatu konferensi pertemuan bernama Solidaritas Merauke, yang mempertemukan warga korban ‘proyek strategis nasional’, proyek pembangunan ugal-ugalan lapar lahan dan sumber daya alam, Dinda mendengarkan mama-mama Papua bertutur, bertukar sapa, dan baku cerita tentang masa lalu dan masa kini, dan bagaimana kedua masa itu menjadi batu keras buat pijakan menata masa depan perawatan. Merawat hutan, merawat tubuh bagian dari kehidupan alam, merawat bumi untuk anak cucu.

Mama-mama Papua saat ini masih berjuang menolak ekspansi puluhan korporasi raksasa sawit dan tambang, juga pemaksaan pertanian pangan homogen, di Papua.

Ada Mama Yasinta Moiwend dari Suku Malind yang saat ini mengalami teror berlapis. Ia berada di tengah-tengah kepungan ribuan tentara dan ratusan ekskavator yang menghancurkan kebun dan tanah orang Malind buat dijadikan lahan sawah seluas 1 juta ha, alias setara 15 kali luas Jakarta.

Proyek ini melibatkan tentara, kementerian pertahanan, kementerian pertanian, Presiden Prabowo, dan pengusaha batubara dan sawit Andi Syamsuddin Arsyad alias Isam.

Dalam tulisan “Doa untuk Mama di Merauke: “Kami Ada. Ketika Mama Menangis, Kami juga Menangis”, Dinda mendokumentasikan pengalaman Mama Yasinta dan Rode Wanimbo, Ketua Departemen Perempuan Gereja Injil di Indonesia (GIDI) Jayapura, saling bercakap dan saling menguatkan buat melawan proyek ekspansi pangan homogen di Tanah Papua. Solidaritas sesama perempuan Papua itu melahirkan Doa Jalan Salib pada 10 Desember 2024.

Dinda juga menemani Mama Yasinta di Makassar International Writers Festival, akhir Mei lalu, dalam serangkaian acara bareng Project Multatuli, di tengah teror telepon dari seorang tentara Kopassus kepada Mama Yasinta, sebab dia datang ke festival tersebut, menarik puluhan anak muda mendengarkan perjuangan dan testimoninya.

Ada Monica Ndiken dari Muting, selatan Papua, yang menghadapi perampasan hutan oleh korporasi sawit. Bertukar pengalaman dengan Mama Rosita Tecuari dari Namblong, Jayapura, dalam artikel terbaru “Ketika Hutan Ditebang, Jantung Saya Berhenti,” Dinda mendokumentasikan pengalaman keduanya menjalin cinta pada hutan dan tanah adat.

“Kalau saya melihat pohon ditebang,” tutur Mama Rosita, “saya menangis. Karena saya merasa ada sosok yang hilang dari saya. Bagi saya, pohon adalah tempat perlindungan saya. Orang akan berpikir, Ih, pohon kan bukan Tuhan. Iya. Tapi saya merasa lega ketika saya duduk menyanyi, memuji Tuhan, di bawah pohon.”

“Saya takut apa yang terjadi di Namblong pada 70-an terjadi di Muting sekarang. Militer yang paksa pemimpin-pemimpin marga untuk kasih tanda tangan sebagai bukti pelepasan.

Pada 1988, tentara ambil bapak pergi dengan tujuan mau melakukan operasi militer. Sampai saat ini bapak tidak pulang.

Saya tidak tahu TNI (saat itu masih bernama ABRI) bawa dia pergi ke mana. Yang kami tahu bapak sementara bekerja untuk negara. Saya punya bapak mengabdi untuk negara, sampai hari ini dia belum pulang. Jadi, negara harus bertanggung jawab.”

“Sebenarnya saya takut,” tutur Monica. “Ketika kita jual hutan ke perusahaan, bukan hanya nanti anak cucu yang susah. Hutan itu, kan, Tuhan yang ciptakan. Kita tidak bantu Tuhan Allah bikin tanah. Kita tidak bisa. Ketika kita kasih jual ke orang lain, itu jadi dosa besar yang kita buat.”

Perempuan adat merupakan pihak yang paling dipinggirkan ketika kita membicarakan soal pembangunan. Ketimpangan berlapis yang mereka hadapi sehari-hari membuat cerita mereka jarang muncul di media arusutama. Project Multatuli meyakini bahwa sebagai gerakan jurnalisme publik, kami punya kewajiban untuk mengutamakan suara-suara perempuan adat, termasuk dari Papua.

Akan tetapi, meliput tentang pengalaman perempuan adat di berbagai daerah di Indonesia butuh biaya yang tidak sedikit. Sementara, cuma 1 dari 6 orang Indonesia (16%) yang mau membayar berita (Reuters Digital News Report, 2024). Oleh karena itu, kami meminta pembaca untuk mendukung kami dengan bergabung sebagai Kawan M lewat program membership dengan iuran mulai dari Rp30 ribu.



Project Multatuli

Project M adalah gerakan jurnalisme publik yang melayani yang dipinggirkan dan mengawasi kekuasaan agar tidak ugal-ugalan. Langganan nawala kami untuk mendapatkan rekomendasi bacaan berbasis jurnalisme telaten. Dukung kami dengan menjadi Kawan M mulai dari Rp30 ribu per bulan.

Read more from Project Multatuli

Ironi jadi WNI: Tubuh politiknya diatur negara, sambil luntang-lantung tanpa perlindungan saat bekerja Rekomendasi dari Devina Heriyanto RUU KUHAP berpotensi melegitimasi kontrol represif negara atas tubuh masyarakat sipil melalui perluasan upaya paksa oleh kepolisian. Mengancam hak asasi manusia dan supremasi sipil. (Project M/Aan K. Riyadi) Pekan ini Project Multatuli menerbitkan tiga tulisan yang sekilas seperti tidak punya hubungan, tapi membuat saya berpikir soal ironi menjadi warga...

Mempertahankan martabat di tengah empasan kekalahan Catatan di balik layar dari Devina Heriyanto, Manajer Membership Tampak dari kejauhan pabrik pengolahan (smelter) nikel di Kawasan Industri Pulau Obi, Provinsi Maluku Utara. (Project M/Rabul Sawal) Pekan lalu, Project Multatuli mendapatkan penghargaan honorable mention dari SOPA Awards 2025 untuk kategori "Excellence in Indonesian News Reporting". Penghargaan ini diberikan atas liputan data Alfian Putra Abdi yang mengulik...

Bacaan Akhir Pekan: Memahami Trauma Tionghoa-Indonesia Rekomendasi dari Eben Haezar Terlahir menjadi Tionghoa-Indonesia bukanlah hal mudah. Sejak pemerkosaan massal Mei 1998 yang menciptakan trauma besar dalam diri, setidaknya ada saja pernyataan atau peristiwa politik yang menunjukkan posisi Tionghoa-Indonesia masih sangat rentan. Misalnya, pada 2016, demonstrasi besar-besar bernuansa anti-Tionghoa yang diarahkan kepada Ahok. Dan sesaat setelahnya, Anies menggunakan istilah “pribumi” dan...