Ekspansi Industri Bauksit di Bintan: Mengancam Penghidupan Suku Laut dan Pariwisata


Ekspansi Industri Bauksit di Bintan: Mengancam Penghidupan Suku Laut dan Pariwisata

Rekomendasi dari Devina Heriyanto

Bintan, Kepulauan Riau, cukup dikenal sebagai tujuan pariwisata berkat pantai pasir putih dan lanskap pesisirnya yang memukau. Pulau itu dan daerah sekitarnya juga menjadi rumah bagi anggota Suku Laut, masyarakat pesisir yang seperti namanya, banyak menggantungkan hidup dari perairan di sekitar Bintan.

Proyek besar PT Bintan Alumina Indonesia (BAI), perusahaan pengolahan bauksit dan industri turunannya, menjadi ancaman bagi penghidupan Suku Laut dan pelaku industri pariwisata di Bintan. PT BAI sejak 2018 resmi ditunjuk pemerintah sebagai pengelola dan pengembang utama KEK Galang Batang, kawasan industri raksasa yang ada di ujung timur pulau. Perusahan ini bukan hanya operator industri, ia adalah arsitek dari seluruh sistem produksi logistik, hingga ekspor alumina yang kini berlangsung dari Galang Batang ke pasar global.

Meski namanya lokal, PT BAI bukan perusahaan asli Indonesia. Sebanyak 99 persen saham PT BAI dimiliki Global Aluminium International Pte. Ltd., yang pada gilirannya dikuasai Nanshan Aluminium Singapore Co. Pte. Ltd.—anak perusahaan dari raksasa industri logam asal Tiongkok, Shandong Nanshan Aluminium Co. Ltd. Proyek bernilai miliaran dolar ini adalah cermin dari pengaruh Beijing dalam pengelolaan mineral strategis Indonesia.

Aktivitas industri di Bintan merusak tatanan ekologis perairan di pulau tersebut. Dampaknya, warga yang terbiasa mencari nafkah dengan menjual ketam dari pesisir terpaksa menjual ketam yang masih kecil. Nelayan pun harus berlayar lebih jauh karena perairan sekitar sudah menjadi daratan hasil reklamasi PT BAI.

PT BAI mulai mereklamasi dan pematangan lahan sekitar tahun 2012, meski operasi besar-besaran baru berjalan dalam 3-5 tahun terakhir. Arus laut yang membawa lumpur sisa reklamasi, serta aktivitas proyek yang terus berlangsung siang dan malam, dinilai memberi dampak langsung terhadap kenyamanan pengunjung resor di Bintan, maupun keberlangsungan program ekowisata yang selama ini menjadi andalan pelaku pariwisata.

Masalah tak hanya di laut. Polusi suara, udara dari kawasan industri yang beroperasi 24 jam juga menjadi sumber keluhan pengunjung. Salah satu staf resor mengaku, tamu-tamu kadang baru sadar setelah tiba bahwa kawasan wisata ini berdampingan dengan aktivitas industri berat.

“Kami tidak mempermasalahkan orang yang kerja di sana, tapi kebijakan yang berdampak buruk ke lingkungan, itu yang kami tentang,” kata Johanes Jamil, generasi ketiga keturunan asli Suku Laut.

Laporan ini merupakan bagian dari serial #ProyekSengsaraNasional. Meminjam satire yang disematkan publik atas proyek strategis nasional (PSN), serial ini menyoroti berbagai penyimpangan dan konflik tenurial, marjinalisasi, pengerahan aparat keamanan dan sentralisasi kebijakan. Sejak ditetapkan Presiden Jokowi pada 2016, lebih dari 200-an PSN di seluruh Indonesia telah membuat kehancuran metabolik alam-manusia dan degradasi ruang hidup gila-gilaan.

Dukung kami untuk terus menyajikan serial liputan yang melayani masyarakat terpinggirkan dan mengawasi kekuasaan agar tidak ugal-ugalan.



Project Multatuli

Project M adalah gerakan jurnalisme publik yang melayani yang dipinggirkan dan mengawasi kekuasaan agar tidak ugal-ugalan. Langganan nawala kami untuk mendapatkan rekomendasi bacaan berbasis jurnalisme telaten. Dukung kami dengan menjadi Kawan M mulai dari Rp30 ribu per bulan.

Read more from Project Multatuli

Ironi jadi WNI: Tubuh politiknya diatur negara, sambil luntang-lantung tanpa perlindungan saat bekerja Rekomendasi dari Devina Heriyanto RUU KUHAP berpotensi melegitimasi kontrol represif negara atas tubuh masyarakat sipil melalui perluasan upaya paksa oleh kepolisian. Mengancam hak asasi manusia dan supremasi sipil. (Project M/Aan K. Riyadi) Pekan ini Project Multatuli menerbitkan tiga tulisan yang sekilas seperti tidak punya hubungan, tapi membuat saya berpikir soal ironi menjadi warga...

Mempertahankan martabat di tengah empasan kekalahan Catatan di balik layar dari Devina Heriyanto, Manajer Membership Tampak dari kejauhan pabrik pengolahan (smelter) nikel di Kawasan Industri Pulau Obi, Provinsi Maluku Utara. (Project M/Rabul Sawal) Pekan lalu, Project Multatuli mendapatkan penghargaan honorable mention dari SOPA Awards 2025 untuk kategori "Excellence in Indonesian News Reporting". Penghargaan ini diberikan atas liputan data Alfian Putra Abdi yang mengulik...

Bacaan Akhir Pekan: Memahami Trauma Tionghoa-Indonesia Rekomendasi dari Eben Haezar Terlahir menjadi Tionghoa-Indonesia bukanlah hal mudah. Sejak pemerkosaan massal Mei 1998 yang menciptakan trauma besar dalam diri, setidaknya ada saja pernyataan atau peristiwa politik yang menunjukkan posisi Tionghoa-Indonesia masih sangat rentan. Misalnya, pada 2016, demonstrasi besar-besar bernuansa anti-Tionghoa yang diarahkan kepada Ahok. Dan sesaat setelahnya, Anies menggunakan istilah “pribumi” dan...