Mempertahankan martabat di tengah empasan kekalahanCatatan di balik layar dari Devina Heriyanto, Manajer Membership Pekan lalu, Project Multatuli mendapatkan penghargaan honorable mention dari SOPA Awards 2025 untuk kategori "Excellence in Indonesian News Reporting". Penghargaan ini diberikan atas liputan data Alfian Putra Abdi yang mengulik perusahaan-perusahaan Raffi Ahmad dan kaitannya dengan berbagai politically exposed person (PEP) termasuk anak-anak Jokowi. Tapi, bukan itu yang mau kami ceritakan di sini. Yang menarik adalah bagaimana pemenang utama di kategori itu, Viriya Singgih atas liputannya di BBC Indonesia, dan pemenang utama di kategori fotografi, Iqbal Lubis yang fotonya terbit di Bollo.id, sama-sama membahas soal dampak industri nikel di Sulawesi dan Maluku. Tahun lalu, Project Multatuli juga menerima penghargaan honorable mention dari SOPA Awards untuk kategori bahasa Indonesia juga atas serial laporan kami tentang nikel, #HilirisasiOligarki. Ini membuat saya termenung. Bukan soal kenapa pemenang penghargaannya selalu soal nikel, karena tentu saja ini adalah isu yang penting dan berpengaruh pada kerusakan alam dan tatanan sosial-ekonomi masyarakat setempat sementara keuntungannya hanya diambil penguasa dan pengusaha yang itu-itu saja. Pertanyaan dalam hati saya adalah: mengapa karya-karya jurnalistik ini, yang dikomentari juri sebagai "berani" dan "mendesak", rasanya tetap tumpul di hadapan pemerintah yang semakin semena-mena? Sebagai media yang mengusung misi "melayani yang dipinggirkan dan mengawasi kekuasaan agar tidak ugal-ugalan", pertanyaan ini jadi penting untuk kami. Sejauh mana jurnalisme bisa berdampak? Kami sudah cukup percaya diri untuk bilang bahwa kami berkomitmen mengangkat suara-suara masyarakat adat, perempuan, dan anak-anak yang terdampak oleh pembangunan yang tidak berkeadilan, apalagi berkelanjutan. Kami pun sudah menerbitkan banyak liputan yang membahas soal cengkraman oligarki pada penguasaan sumber daya alam di Indonesia yang akhirnya memperbesar jurang ketimpangan. Tapi, kok, rasanya situasi masih begini-begini saja. Seakan-akan, laporan kami hanya menjadi dengungan nyamuk di kuping penguasa yang mungkin juga sudah ada setelan penghilang kebisingan sehingga mereka nyaman-nyaman saja dalam gelembungnya. Seakan-akan, cerita-cerita warga yang diangkat dalam berbagai bentuk karya jurnalistik oleh berbagai jurnalis dari berbagai media hanya sebatas, meminjam perumpamaan dari Terry Pratchett dalam novelnya tentang jurnalisme, tulisan di pasir yang mudah hilang diempas ombak. Hari ini ditulis, dilupakan, hanya untuk terulang dan terlupakan lagi. Misal saja, soal penambangan di pulau kecil, yang beberapa waktu lalu jadi perhatian karena terjadi di Pulau Gag, bagian dari gugus kepulauan Raja Ampat. Penambangan nikel di pulau kecil bukan hal baru. Project Multatuli dan media lain sudah memberitakan soal kehancuran ekologis yang muncul di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, akibat aktivitas PT Gema Kreasi Perdana, anak perusahaan Harita Group. Meski warga sudah menggugat aktivitas penambangan perusahaan itu, dan Mahkamah Konstitusi sudah mengukuhkan peraturan soal pelarangan aktivitas pertambangan di pulau kecil pada tahun 2024, kenyataannya, hal yang sama lalu terjadi di Pulau Gag. Barulah ketika ada keributan di media sosial, pemerintah mencabut konsesi perusahaan tambang di sana. Sampai kapan kita dipaksa mengulangi situasi ini? Di tengah berbagai permasalahan lain yang ada (dan diada-adakan oleh berbagai institusi negara yang hanya memandang warga sebagai statistik), sampai kapan kita punya energi dan perhatian untuk memperjuangkan warga-warga dan masyarakat adat di wilayah-wilayah lain? Saya juga belum menemukan jawabannya. Tapi seberapa pun melelahkannya, justru di masa-masa seperti ini juga saya makin yakin bahwa apa yang kami lakukan itu penting. Dengan menuliskan apa yang terjadi, dari perspektif orang-orang yang tidak punya kekuasaan untuk membatasi kebenaran (atau malah menulis ulang sejarah), para jurnalis dan media independen sedang melakukan perlawanan yang berarti. Dan dengan membaca kisah-kisah yang kami tulis, meski bukan sesuatu yang menyenangkan dan seringkali malah membuat marah atau frustrasi, saya juga percaya bahwa kamu sebagai pembaca, punya peran penting dalam melawan dan merawat kebenaran. Penulis dari Korea Selatan, Bora Chung, membahas soal pentingnya sebuah aksi perlawanan di tengah kesia-siaan ini. Sebagai penulis cum aktivis, Bora menyimpulkan bahwa merawat ingatan soal kehilangan dan berduka adalah bagian yang penting dari sebuah perjuangan. Meski sebuah aksi tidak akan mengubah dunia, katanya, "Akan masih ada orang yang diinjak-injak dalam keheningan, dan mereka yang terus mati dalam diam. Tapi mungkin akan ada juga mereka yang akan bertahan. Dan aku ingin bisa hadir dengan sesedikit mungkin rasa malu di hadapan mereka yang bertahan. [...] Aku ikut protes untuk kesehatan mentalku sendiri dan menjaga martabat sebagai manusia. Aku perlu menulis, tapi di sinilah aku, seringkali melawan." Terkadang saya sebal jika sudah membaca tulisan panjang, lalu mendapati bahwa penulisnya sedang ingin menjual sesuatu. Tapi dalam kasus ini saya pun harus bermuka tebal: kerja-kerja jurnalisme yang merekam cerita-cerita dari pinggiran ini tidak murah, pun mudah. Kami butuh dukungan, mulai dari yang paling dasar, yaitu membaca dan menyebarkan ulang reportase kami, hingga dukungan finansial untuk terus bisa menutupi ongkos liputan dan memberikan upah layak pada jurnalis, fotografer, ilustrator, dan pekerja kami. Per pekan lalu, kami punya 348 Kawan M, pembaca yang mendukung kami lewat membayar iuran atau patungan untuk gerakan jurnalisme publik. Kami butuh lebih banyak, begitu pun dengan media-media lain yang berusaha hidup dari pembaca agar tidak harus bergantung pada iklan korporasi dan pemerintah – terutama di daerah. Saya pernah ditanya soal apa dunia yang ideal untuk Project Multatuli. Jawaban saya: dunia yang ideal adalah ketika Project Multatuli sudah tidak harus ada lagi, ketika sudah tidak ada masyarakat yang dipinggirkan dan kekuasaan sudah tidak ugal-ugalan. Tapi untuk sampai ke titik itu, kami masih harus terus meneruskan gerakan jurnalisme publik yang kami yakini, terus menulis di atas pasir, dan mengulanginya di hari esok, esoknya, esoknya, dan esoknya lagi. Terus melawan, karena meskipun hari ini kita belum bisa menang, setidaknya kita sudah berhasil mempertahankan martabat dan kebenaran. |
Project M adalah gerakan jurnalisme publik yang melayani yang dipinggirkan dan mengawasi kekuasaan agar tidak ugal-ugalan. Langganan nawala kami untuk mendapatkan rekomendasi bacaan berbasis jurnalisme telaten. Dukung kami dengan menjadi Kawan M mulai dari Rp30 ribu per bulan.
Ironi jadi WNI: Tubuh politiknya diatur negara, sambil luntang-lantung tanpa perlindungan saat bekerja Rekomendasi dari Devina Heriyanto RUU KUHAP berpotensi melegitimasi kontrol represif negara atas tubuh masyarakat sipil melalui perluasan upaya paksa oleh kepolisian. Mengancam hak asasi manusia dan supremasi sipil. (Project M/Aan K. Riyadi) Pekan ini Project Multatuli menerbitkan tiga tulisan yang sekilas seperti tidak punya hubungan, tapi membuat saya berpikir soal ironi menjadi warga...
Bacaan Akhir Pekan: Memahami Trauma Tionghoa-Indonesia Rekomendasi dari Eben Haezar Terlahir menjadi Tionghoa-Indonesia bukanlah hal mudah. Sejak pemerkosaan massal Mei 1998 yang menciptakan trauma besar dalam diri, setidaknya ada saja pernyataan atau peristiwa politik yang menunjukkan posisi Tionghoa-Indonesia masih sangat rentan. Misalnya, pada 2016, demonstrasi besar-besar bernuansa anti-Tionghoa yang diarahkan kepada Ahok. Dan sesaat setelahnya, Anies menggunakan istilah “pribumi” dan...
Papua Bukan Tanah Kosong: Ketika Hutan Ditebang, Jantung Saya Berhenti Rekomendasi dari Fahri Salam Monica Ndiken (kiri) dan Rosita Tecuari (kanan) berpose di sisi spanduk bertulisan “Tolak PSN Merauke” pada acara Solidaritas Merauke, Maret 2025, di Petrus Vertenten MSC Center, Kabupaten Merauke. (Project M/Permata Adinda) Permata Adinda merekam percakapan pengalaman mama-mama Papua yang memorinya dirampas negara, yang tubuhnya diambil paksa oleh tentara, yang tanah dan kekayaan mereka...