Ironi jadi WNI: Tubuh politiknya diatur negara, sambil luntang-lantung tanpa perlindungan saat bekerjaRekomendasi dari Devina Heriyanto Pekan ini Project Multatuli menerbitkan tiga tulisan yang sekilas seperti tidak punya hubungan, tapi membuat saya berpikir soal ironi menjadi warga negara Indonesia. Di satu sisi, kebebasan dan hak atas tubuh kita terus tergerus dengan aturan-aturan represif dan aparat yang makin semena-mena. Di sisi lain, negara seakan abai ketika berurusan dengan kewajibannya terhadap warga, seperti memberi jaminan atas pendidikan, pekerjaan yang layak, atau keamanan dan kesehatan fisik. Tulisan M Sobar Alfahri yang berjudul “Muntah Darah di Kebun Sawit: Nasib Buruh Perempuan Jambi Bekerja Tanpa Pelindung Diri” membahas kehidupan buruh perempuan lepas di kebun sawit di Nipah Panjang, Jambi, penuh kerentanan. Sehari-hari, mereka berurusan dengan bahan kimia berbahaya tanpa akses air bersih, alat pelindung diri, dan jaminan sosial. Mereka seakan dipaksa berdamai dengan fakta bahwa celaka bisa sewaktu-waktu tiba. Tahun lalu, Project M juga pernah menyoroti penggunaan herbisida beracun paraquat di perkebunan sawit Indonesia. Laporan Adi Renaldi tersebut bukan hanya membahas soal dampak penggunaan herbisida beracun terhadap kesehatan pekerja, tapi juga soal dampaknya ke ekosistem Danau Sembuluh, danau terluas di Kalimantan Tengah, seluas hampir 8.000 ha. Karena dampak negatifnya, paraquat sudah dilarang pemakaiannya oleh beberapa negara, termasuk produsennya sendiri seperti Tiongkok, Swiss, dan Inggris, juga Brasil dan Malaysia. Ironisnya, herbisida ini masih dijual bebas di Indonesia dan digunakan tanpa pengawasan dan alat keamanan untuk melindungi pekerja kebun sawit. Tulisan kedua yang terbit pekan ini adalah Ide dan Esai dari Alvino Kusumabrata, mahasiswa Fakultas Hukum UGM dan Research Fellow pada Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) FH UGM, Yogyakarta. Alvino menyoroti potensi pelanggaran hak atas tubuh warga negara lewat sejumlah pasal dalam RUU KUHAP. Lebih jauhnya lagi, Alvino mengingatkan bahwa RUU KUHAP ini tidak berdiri sendiri. “Pengesahan RUU KUHAP ini sejalan dengan agenda revisi UU Polri. Ini adalah serangkaian paket politik hukum, yang tengah dikerjakan DPR dan pemerintah sekarang, menyusul pengesahan revisi UU TNI. Ketiganya mengatur dan mengontrol tubuh masyarakat sipil kita,” tulisnya. Tulisan ketiga yang baru terbit hari ini merupakan bagian dari serial #GenerasiCemas, yang fokus pada kesulitan anak muda Indonesia untuk mencari pekerjaan dengan upah layak. Laporan hasil kolaborasi dengan Katong NTT berjudul “Kesaksian Generasi Cemas di NTT: Upah Murah, Jam Kerja Panjang, Sarjana Susah Cari Kerja” datang dari Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sebanyak 3 dari 4 angkatan kerja di Nusa Tenggara Timur (NTT) bekerja di sektor informal. Mereka bekerja tanpa jaminan hukum, jam kerja panjang, dan upah yang jauh dari layak.
Dukung jurnalisme yang berdiri bersama publik, bukan penguasa. Project Multatuli secara konsisten menerbitkan tulisan yang melayani yang dipinggirkan, mengangkat cerita-cerita dari komunitas yang selama ini tidak diberi ruang di media arusutama, dan bekerja secara independen tanpa intervensi investor maupun pengiklan. Karya jurnalistik kami telah diakui kredibilitasnya melalui penghargaan di level nasional maupun internasional, tapi tetap bisa diakses dan dibaca siapa saja tanpa iklan berkat dukungan dari pembaca yang bergabung sebagai Kawan M. Jadi Kawan M, jadi bagian dari upaya mempertahankan kebebasan pers dan demokrasi. |
Project M adalah gerakan jurnalisme publik yang melayani yang dipinggirkan dan mengawasi kekuasaan agar tidak ugal-ugalan. Langganan nawala kami untuk mendapatkan rekomendasi bacaan berbasis jurnalisme telaten. Dukung kami dengan menjadi Kawan M mulai dari Rp30 ribu per bulan.
Mempertahankan martabat di tengah empasan kekalahan Catatan di balik layar dari Devina Heriyanto, Manajer Membership Tampak dari kejauhan pabrik pengolahan (smelter) nikel di Kawasan Industri Pulau Obi, Provinsi Maluku Utara. (Project M/Rabul Sawal) Pekan lalu, Project Multatuli mendapatkan penghargaan honorable mention dari SOPA Awards 2025 untuk kategori "Excellence in Indonesian News Reporting". Penghargaan ini diberikan atas liputan data Alfian Putra Abdi yang mengulik...
Bacaan Akhir Pekan: Memahami Trauma Tionghoa-Indonesia Rekomendasi dari Eben Haezar Terlahir menjadi Tionghoa-Indonesia bukanlah hal mudah. Sejak pemerkosaan massal Mei 1998 yang menciptakan trauma besar dalam diri, setidaknya ada saja pernyataan atau peristiwa politik yang menunjukkan posisi Tionghoa-Indonesia masih sangat rentan. Misalnya, pada 2016, demonstrasi besar-besar bernuansa anti-Tionghoa yang diarahkan kepada Ahok. Dan sesaat setelahnya, Anies menggunakan istilah “pribumi” dan...
Papua Bukan Tanah Kosong: Ketika Hutan Ditebang, Jantung Saya Berhenti Rekomendasi dari Fahri Salam Monica Ndiken (kiri) dan Rosita Tecuari (kanan) berpose di sisi spanduk bertulisan “Tolak PSN Merauke” pada acara Solidaritas Merauke, Maret 2025, di Petrus Vertenten MSC Center, Kabupaten Merauke. (Project M/Permata Adinda) Permata Adinda merekam percakapan pengalaman mama-mama Papua yang memorinya dirampas negara, yang tubuhnya diambil paksa oleh tentara, yang tanah dan kekayaan mereka...