Kriminalisasi dan Represi Ruang Sipil di Tengah Meredupnya Aksi Protes


Kriminalisasi dan Represi Ruang Sipil di Tengah Meredupnya Aksi Protes

Rekomendasi dari Project Multatuli

Jalanan mulai sepi dari aksi demonstrasi setelah sepanjang sepekan pada akhir Agustus 2025 menjadi mimbar bebas publik mengutarakan pendapat. Namun, di balik itu, polisi menangkap ribuan orang, menahan ratusan, dan menetapkan puluhan tersangka. Berbekal pasal penghasutan dan pasukan siber yang memantau pembicaraan di berbagai platform media sosial, polisi memburu mahasiswa, pelajar, warga biasa, seniman, pekerja kantoran, bahkan anak di bawah umur.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iqbal M. Nurfahmi, menilai proses penangkapan dan penetapan tersangka pada banyak orang pasca aksi protes Agustus-September sebagai tindakan kepolisian yang represif. Terlebih lagi pasal yang polisi pakai, seperti pasal penghasutan, terkesan dipaksakan.

Tindakan kepolisian demikian, menurut Iqbal, seolah menyebarkan ketakutan semata terhadap orang-orang yang resah dan berani bersuara.

“Dalam kejadian ini, kepolisian cenderung memfokuskan perhatian mencari-cari orang untuk ‘membangun kasus’ kemudian dilakukan pemidanaan. Seharusnya penegakan hukum didahului pencarian fakta yang komprehensif,” ujar Iqbal.

Kami memotret secuil saja kisah tentang bagaimana polisi menangkap, menahan, dan memburu orang-orang biasa. Skala represi paling luas dan ugal-ugalan sejak reformasi 1998.

Pekan ini, Direktur Eksekutif Project M, Evi Mariani juga menulis sebuah Ide dan Esai berjudul “Yang Ditakuti Penguasa: Warga Biasa yang Melakukan Hal Sederhana”. Menurutnya, penangkapan massal ini merupakan bagian dari “teror psikologis” untuk membungkam pemikiran kritis. Tapi, ini menunjukkan ketakutan negara atas warganya sendiri.

Sebagai gerakan jurnalisme publik, Project Multatuli menjadi bagian dari perlawanan dengan terus melayani yang dipinggirkan dan mengawasi kekuasaan yang makin ugal-ugalan. Akan tetapi, media independen dan kritis pun terus menjadi sasaran represi. Oleh karena itu, kami butuh bantuanmu sebagai Kawan M untuk meneruskan keberlangsungan jurnalisme publik.

Jadi Kawan M sekarang.

***

Project Multatuli akan hadir dalam Festival HAM yang diselenggarakan oleh INFID pada hari Sabtu, 27 September, 2025 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dalam rangka menggalang dukungan pembaca, kami membuka pre-order pemesanan merchandise untuk diambil pada hari H. Jika kamu ingin menunjukkan dukungan kepada jurnalisme publik lewat kaos atau tote bag, kamu bisa memesannya lewat formulir ini.

Project Multatuli

Project M adalah gerakan jurnalisme publik yang melayani yang dipinggirkan dan mengawasi kekuasaan agar tidak ugal-ugalan. Langganan nawala kami untuk mendapatkan rekomendasi bacaan berbasis jurnalisme telaten. Dukung kami dengan menjadi Kawan M mulai dari Rp30 ribu per bulan.

Read more from Project Multatuli

Kisah Horor Kampung Kebon Sayur: Dihantui Mafia Tanah dan Penggusuran Rekomendasi dari Devina Heriyanto Vince Tama (59), akrab disapa tante Vince, asal Manado, Sulawesi Utara. Ia, salah satu warga Kebon Sayur, yang rumah dan usaha lapak pasir bersama almarhum suaminya sejak 20-an tahun lalu, sudah rata digaruk beko. Saat ini, ia berusaha menanam jagung di lahan yang sudah ditimbun tanah merah. (Project M/Adrian Mulya) Tanpa surat resmi, alat berat menggusur rumah-rumah di Kampung Kebon Sayur,...

Bacaan Akhir Pekan: Analisis Danantara & Perburuan Polisi yang Masih Berlanjut Rekomendasi dari Devina Heriyanto Melihat banyaknya pendanaan Danantara yang diarahkan ke proyek-proyek ekstraktif, aktivis khawatir Danantara jadi "akselerator kerusakan Indonesia". (PresidenRI.go.id) Pekan ini, Project Multatuli menerbitkan dua tulisan dengan tema berkelanjutan. Hanya saja, berkelanjutan dalam artian daya rusaknya. Permata Adinda, jurnalis Project M, menulis analisis terkait lembaga pengelola...

Kriminalisasi Masyarakat Adat Maba Sangaji: Tidak Diakui sebagai Pejuang Lingkungan, Malah Dicap Preman Rekomendasi dari Devina Heriyanto Para istri, keluarga, dan anak dari beberapa keluarga korban kriminalisasi masyarakat desa Maba Sangaji, Halmahera Timur. Mereka berada di Kota Ternate pada akhir Juni 2025 untuk menjenguk suami dan ayah mereka yang saat itu masih ditahan di Rutan Kelas IIB Ternate. (Project M/Rabul Sawal) Hampir lima bulan keluarga korban kriminalisasi sebelas masyarakat...