Kriminalisasi Demonstran May Day 2025: Darurat Kekerasan Aparat & Revisi KUHAPRekomendasi dari Project Multatuli Pada aksi damai May Day 2025, 14 anak muda menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi oleh polisi. Mereka dituduh sebagai provokator, ditangkap, dan hak mereka untuk mendapat pendampingan hukum dilanggar. Dampaknya: ada yang menjadi putus hubungan dengan orangtua, ada yang mengalami trauma panjang, dan ada yang kuliahnya terganggu. Satu setengah bulan setelah aksi May Day, ke-14 demonstran bersama Tim Advokasi untuk Demokrasi mendatangi Bareskrim Polda Metro. Mereka melaporkan kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang polisi kepada mereka. Herlina, seorang ibu dari korban penangkapan, berkata di depan wartawan: “Setahu saya kepolisian ditugaskan oleh negara untuk mengayomi masyarakat. Mengamankan saat demo. Tetapi apa yang terjadi? Anak-anak ini dituduh sebagai provokator. Anak saya, perempuan, dilecehkan dengan kata-kata yang tidak pantas.” “Saya izinkan anak saya ikut demo untuk belajar mencintai Indonesia. Tetapi ini yang kami dapat dari kepolisian.” Jurnalis Project Multatuli, Permata Adinda, mewawancarai 7 korban dan menuliskan runtutan peristiwa pada aksi May Day tersebut.
Apa yang terjadi pada 14 demonstran ini adalah gambaran soal cara kerja kepolisian yang penuh dengan kekerasan dan ugal-ugalan. Misalkan, polisi memeriksa salah satu demonstran yang ditangkap tanpa pengacara publik yang sebenarnya sudah datang di lokasi. Revisi KUHAP, yang mengatur cara kerja polisi dan kejaksaan serta aparat penegakan hukum, mendapat penolakan keras dari kelompok masyarakat sipil dan akademisi. Alasannya, naskah revisi yang beredar malah mengindikasikan ada perluasan kekuasaan bagi polisi, yang sudah berulang kali dikritik atas kultur kekerasan dalam institusi tersebut. Bulan lalu, Project Multatuli menerbitkan opini Alvino Kusumabrata, mahasiswa Fakultas Hukum UGM dan Research Fellow pada Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) FH UGM. Alvino menyoroti potensi pelanggaran hak atas tubuh warga negara lewat sejumlah pasal dalam RUU KUHAP. Project M telah menerbitkan beberapa tulisan dalam serial #DaruratKekerasanAparat. Kultur kekerasan dan impunitas di tubuh Polri telah menjadikan lembaga penegak hukum ini 'superbody', sangat berkuasa dan menjadi alat gebuk penguasa, sehingga nyaris sia-sia mengawasinya secara eksternal maupun internal. Berbagai kasus kematian di tangan polisi serta aksi protes publik digebuki polisi menunjukkan juga betapa darurat demokrasi kita. Jadi bagian dalam upaya kami untuk mengawasi polisi dengan jadi Kawan M. |
Project M adalah gerakan jurnalisme publik yang melayani yang dipinggirkan dan mengawasi kekuasaan agar tidak ugal-ugalan. Langganan nawala kami untuk mendapatkan rekomendasi bacaan berbasis jurnalisme telaten. Dukung kami dengan menjadi Kawan M mulai dari Rp30 ribu per bulan.
Kisah Horor Kampung Kebon Sayur: Dihantui Mafia Tanah dan Penggusuran Rekomendasi dari Devina Heriyanto Vince Tama (59), akrab disapa tante Vince, asal Manado, Sulawesi Utara. Ia, salah satu warga Kebon Sayur, yang rumah dan usaha lapak pasir bersama almarhum suaminya sejak 20-an tahun lalu, sudah rata digaruk beko. Saat ini, ia berusaha menanam jagung di lahan yang sudah ditimbun tanah merah. (Project M/Adrian Mulya) Tanpa surat resmi, alat berat menggusur rumah-rumah di Kampung Kebon Sayur,...
Bacaan Akhir Pekan: Analisis Danantara & Perburuan Polisi yang Masih Berlanjut Rekomendasi dari Devina Heriyanto Melihat banyaknya pendanaan Danantara yang diarahkan ke proyek-proyek ekstraktif, aktivis khawatir Danantara jadi "akselerator kerusakan Indonesia". (PresidenRI.go.id) Pekan ini, Project Multatuli menerbitkan dua tulisan dengan tema berkelanjutan. Hanya saja, berkelanjutan dalam artian daya rusaknya. Permata Adinda, jurnalis Project M, menulis analisis terkait lembaga pengelola...
Kriminalisasi Masyarakat Adat Maba Sangaji: Tidak Diakui sebagai Pejuang Lingkungan, Malah Dicap Preman Rekomendasi dari Devina Heriyanto Para istri, keluarga, dan anak dari beberapa keluarga korban kriminalisasi masyarakat desa Maba Sangaji, Halmahera Timur. Mereka berada di Kota Ternate pada akhir Juni 2025 untuk menjenguk suami dan ayah mereka yang saat itu masih ditahan di Rutan Kelas IIB Ternate. (Project M/Rabul Sawal) Hampir lima bulan keluarga korban kriminalisasi sebelas masyarakat...