Kriminalisasi Masyarakat Adat Maba Sangaji: Tidak Diakui sebagai Pelindung Lingkungan, Malah Dicap Preman


Kriminalisasi Masyarakat Adat Maba Sangaji: Tidak Diakui sebagai Pejuang Lingkungan, Malah Dicap Preman

Rekomendasi dari Devina Heriyanto

Hampir lima bulan keluarga korban kriminalisasi sebelas masyarakat Maba Sangaji mencari keadilan. Mereka bolak-balik dari kampung di Halmahera Timur ke Ternate dan Tidore menyeberang laut dan darat setiap kali besuk atau mengikuti persidangan. Jarak dari Maba ke Ternate atau Tidore hampir 8 jam perjalanan.

Sebelas anggota masyarakat adat Maba Sangaji ditangkap ketika melakukan ritual adat yang meminta penghentian aktivitas tambang nikel yang sudah merusak hutan adat, sungai, dan mata air. Kerusakan lingkungan besar-besaran akibat pertambangan nikel bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan 'tali asih' atau ganti rugi atas tanah yang nilainya ditetapkan sendiri oleh perusahaan tanpa persetujuan warga.

Salah satu tahanan adalah Umar Manado, kapita darat di bawah Gimalaha Maba Sangaji, yang berada di bawah Sangaji Maba atau pejabat adat setara gubernur yang ditunjuk langsung oleh Kesultanan Tidore. Meski begitu, Sangaji Maba tetap menjadi daerah swatranta atau otonom.

Sebagai kapita, Umar bertugas menjaga hutan, sungai, dan sumber kehidupan kampung dari segala macam ancaman. Ketika ada aktivitas pertambangan yang merusak hutan adat, Umar berdiri paling depan. Ia tahu, setiap pohon yang tumbuh, setiap aliran air di Kali Sangaji, adalah urat nadi kehidupan.

“Saya ini so menyatu dengan tanah ini,” kata Umar. Suaranya bergetar, tapi sorot matanya tajam. “Jadi kalau ada yang kase rusak tanah itu, saya paling marah.”

Warga merasa tak ada jalan lain selain mereka sendiri yang menghentikan aktivitas tambang. Mereka tidak percaya lagi pada perangkat desa yang dinilai sudah jadi ‘kaki tangan’ perusahaan. Berbekal keputusan tetua adat, 27 orang perwakilan melakukan ritual di hutan yang sudah menjadi tanah tandus.

Mereka disambut suara tembakan. Diintimidasi berhari-hari. Ketika menggelar ritual penancapan bendera kabasarang atau empel, mereka ditangkap aparat negara dan dibawa ke Mapolda Maluku Utara tanpa pendampingan hukum. 16 orang dibebaskan, 11 orang ditetapkan tersangka.

Sampai sekarang mereka masih memperjuangkan keadilan. Hakim bersikeras bahwa mereka bukan pejuang lingkungan. Alih-alih, mereka dicap preman.

Rabul Sawal, akrab dipanggil Ajun, adalah kontributor Project Multatuli dari Pulau Halmahera. Sejak 2022, Ajun telah menulis dampak industri nikel yang merampas ruang hidup masyarakat adat di Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya.

Untuk reportasenya tentang kriminalisasi masyarakat adat Maba Sangaji ini Ajun harus berkorespondensi selama berbulan-bulan dengan para korban, termasuk lewat surat.

Jika kamu merasa laporan jurnalistik seperti tulisan Ajun ini penting, tolong dukung Project Multatuli. Kami berkomitmen untuk terus mengangkat cerita perjuangan masyarakat yang kisah dan perspektifnya sering tidak mendapat tempat di media arusutama.

Dukung kami dengan jadi Kawan M.



Project Multatuli

Project M adalah gerakan jurnalisme publik yang melayani yang dipinggirkan dan mengawasi kekuasaan agar tidak ugal-ugalan. Langganan nawala kami untuk mendapatkan rekomendasi bacaan berbasis jurnalisme telaten. Dukung kami dengan menjadi Kawan M mulai dari Rp30 ribu per bulan.

Read more from Project Multatuli

Kisah Horor Kampung Kebon Sayur: Dihantui Mafia Tanah dan Penggusuran Rekomendasi dari Devina Heriyanto Vince Tama (59), akrab disapa tante Vince, asal Manado, Sulawesi Utara. Ia, salah satu warga Kebon Sayur, yang rumah dan usaha lapak pasir bersama almarhum suaminya sejak 20-an tahun lalu, sudah rata digaruk beko. Saat ini, ia berusaha menanam jagung di lahan yang sudah ditimbun tanah merah. (Project M/Adrian Mulya) Tanpa surat resmi, alat berat menggusur rumah-rumah di Kampung Kebon Sayur,...

Bacaan Akhir Pekan: Analisis Danantara & Perburuan Polisi yang Masih Berlanjut Rekomendasi dari Devina Heriyanto Melihat banyaknya pendanaan Danantara yang diarahkan ke proyek-proyek ekstraktif, aktivis khawatir Danantara jadi "akselerator kerusakan Indonesia". (PresidenRI.go.id) Pekan ini, Project Multatuli menerbitkan dua tulisan dengan tema berkelanjutan. Hanya saja, berkelanjutan dalam artian daya rusaknya. Permata Adinda, jurnalis Project M, menulis analisis terkait lembaga pengelola...

Janji Manis AI, Derita Pekerja: Beban Bertambah dan Kehilangan Makna Rekomendasi dari Devina Heriyanto Kendaraan memadati Jalan Gatot Subroto, Jakarta, saat jam pulang kerja dan refleksi logo model kecerdasan buatan (AI) OpenAI. (Project M/Muhammad Zaenuddin) Dalam pembuka esainya yang kemudian diperluas menjadi buku, antropolog dan aktivis David Graeber menuliskan prediksi ekonom John Maynard Keynes pada tahun 1930 bahwa teknologi akan mempermudah pekerjaan manusia sehingga dalam seminggu,...